Nanti akan saya tunjukkan beberapa ayat yang mengisyaratkan bahwa Allah menghendaki kita kaya. Tapi sebelum itu, saya mau bertanya: Benarkah bahwa mengejar keuntungan dengan menghalalkan segala cara merupakan cara yang efektif menuju kekayaan?
Mari kita lihat kasus mobil Pinto yang mulai diproduksi dan dipasarkan oleh Ford pada tahun 1970. Kasusnya adalah bahwa tangki bensin di bagian belakang mobil ini mudah terbakar, walau hanya lantaran benturan ringan. Letak persoalannya adalah pada desainnya.
Secara teknis, persoalan ini sebetulnya mudah diatasi. Namun, Ford enggan melakukannya. Sebab, menarik kembali mobil-mobil ini dari konsumen dan memproduksi-ulang mobil-mobil itu di pabriknya akan memakan biaya yang lebih besar daripada ongkos ganti rugi yang dibayarkan kepada konsumen yang mobilnya terbakar, mengalami luka-bakar, atau bahkan meninggal dunia karenanya!
Perhatikanlah bagaimana Ford saat itu tidak merasa terpanggil oleh Tuhan untuk menjaga keselamatan manusia. Yang diperhitungkan hanyalah uang dan uang. Akibatnya, sebagaimana diungkapkan oleh Paul C Nutt dalam Why Decisions Fail, Ford “kehilangan reputasinya secara signifikan”.
Kehilangan reputasi itu menyebabkan merosotnya nilai penjualan secara drastis. Ujung-ujungnya, kerugian material yang diderita Ford bahkan jauh lebih besar daripada biaya yang mesti dikeluarkan sekiranya Ford memproduksi Pinto dengan tangki bensin yang tidak mudah terbakar.
Demikianlah gambaran bagaimana suatu pekerjaan yang tidak dilandasi rasa terpanggil oleh Tuhan, bahkan walau dengan dalih “mengejar keuntungan”, ternyata menghasilkan kerugian yang besar dan semakin besar!
Sebaliknya, bekerja dengan landasan merasa terpanggil oleh Tuhan, walau tidak “mengejar keuntungan”, ternyata justru menjadi kaya. Contohnya, Habiburrahman El Shirazy yang merasa terpanggil untuk mengungkapkan “ayat-ayat cinta” yang dia jumpai ketika ia berkuliah di Mesir. Ia menjadi kaya lantaran novelnya, Ayat-Ayat Cinta, laris-manis. Contoh lainnya, KH Muhammad Arifin Ilham yang merasa terpanggil untuk mengajak kita berdzikir bersama. Dengan majelis dzikirnya, yang memperluas jaringan relasinya, menjadi kayalah dia.
Mengapa ini terjadi? Berikut penjelasan kami.
Danah Zohar & Ian Marshall menyatakan, kita tak mungkin memiliki rasa keterpanggilan jika kita memandang kehidupan sebagai “sesuatu yang sudah semestinya.” Bila memandang sesuatu sebagai sudah semestinya, maka bisa-bisa kita hanya “berlalu begitu saja dalam kehidupan.”(Spiritual Capital, hlm. 176)
Andai kita berpikir seperti ini, kita pun bekerja secara asal-asalan. Asal masuk kerja tanpa bolos, asal peroleh gaji secara rutin, “asal bapak senang”, asal mendapat keuntungan (seperti pada kasus Pinto di atas), dan sebagainya. Tentu saja, hasilnya pun “asal-asalan” (yakni tidak menghasilkan kekayaan).
Adapun yang landasannya adalah rasa terpanggil oleh Tuhan, niscaya kerjanya dilakukan secara utuh (dengan segenap hati, segenap pikiran, dan segenap tenaga). Inilah yang terlihat pada Habiburrahman El Shirazy, KH Muhammad Arifin Ilham, dan mereka yang benar-benar merasa terpanggil oleh Tuhan. Inilah yang membuahkan ganjaran yang berlipat ganda dan kesuksesan yang besar.
Allah SWT berfirman: “Siapakah yang ingin memberi qardh (kredit) kepada Allah dengan kredit yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (qardh itu) untuknya dan dia akan memperoleh ganjaran yang banyak” (QS. 57:11).
Dia berfirman pula, “Siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) Allah. Maka bergembiralah dengan jual beli yang kamu lakukan itu. Itulah kesuksesan yang besar.” (QS. 9: 111)
Itu sebabnya, jika kita merasa terpanggil oleh Tuhan, maka kita menjadi kaya atau sukses! Karenanya, “jika engkau telah selesai (segera dari tugasmu), tetaplah bekerja keras.” (QS. 94: 7)
Itulah beberapa di antara sekian ayat yang menunjukkan betapa Allah menghendaki Anda kaya, khususnya melalui “rasa terpanggil oleh Tuhan”.